Rabu, 17 Februari 2010

Kamis, 26 November 2009

Minggu, 01 November 2009

Jumat, 30 Oktober 2009


Catatan oleh : budiyono arif samdani

Ada dua mazhab pendekatan pemberantasan terorisme. Mazhab pertama lebih dikenal dengan pendekatan langsung (direct approach). Filosofi mendasar dari ‘direct approach’ ialah menganggap pemberantasan terorisme identik dengan perang. Dari sinilah berkembang frasa ‘war on terror’. Kata ‘war’ atau perang bagi penganut mazhab ini sejalan dengan filosofi pemenangan perang yang diperkenalkan oleh Jomini.

Untuk menang perang, yang harus dilakukan hanyalah membunuh dan menghancurkan sebanyak mungkin pasukan lawan. Corak pemberantasan terorisme mazhab ini didominasi oleh gerakan pemberangusan total jaringan teroris, yang tidak jarang berujung pada eksekusi tersangka pelaku terror di tempat.

Umumnya pula, publik yang sudah jengah tak akan banyak komentar terhadap tindakan eksekusi di tempat. Perlahan tapi pasti, mazhab ini akan menyeret publik untuk percaya dan maklum bahwa keberhasilan kebijakan kontraterorisme ialah dengan menghabisi person person yang terlibat dalam jaringan terror, mulai dari terasangka pelaku, pemimpin, pendukung hingga simpatisan. Singkatnya pemberantasan terorisme sama dengan pemberantasan teroris.

Disinilah letak kelemahan mazhab ini. Pengalaman praktis banyak negara menunjukkan pendekatan langsung hanya akan menekan kegiatan terorisme unutk sementara waktu, sebelum akhirnya kembali aktif. Pengalaman Inggris pada tahun 70’an hingga awal 80’an, menunjukkan bahwa walau banyak tokoh teroris IRA (Irish Republican Army) yang tertangkap dan terbunuh, tidak lantas berarti kegiatan terror berhenti. Sel-sel teroris hanya akan mati suri sebelum akhirnya menunggu waktu untuk kembali aktif.

Untuk menutupi kelemahan mazhab pertama, John A Nagl, mengusulkan ada pendekatan kedua, indirect approach. Filosofi mendasar dari indirect approach adalah to separate the fish from the water. Karena teroris tidak akan tumbuh tanpa penerimaan masyarakat, target utama dari mazhab ini ialah isolasi total kelompok teroris dari masyarakat. Guna mencapainya, ada dua tahapan utama, melemahkan organisasi dan jaringan terror serta menumbuhkan imunitas sosial atas penyusupan aktivitas jaringan terror. Pelemahan organ dan jaringan terror dapat dilakukan dengan langkah-langkah penegakan hukum.

Di sinilah peran penting legislasi pemberantasan terorisme, pertanggungjawaban pelaku terror di depan pengadilan dan dikedepankannya lembaga kepolisian dalam penanganan terorisme. Dalam tahapan pertama, terurainya jaringan teoris serta kematian tokoh kunci teroris seperti Noordin, Azhari dan Syaifuddin Zuhri tentu memiliki tiga efek strategis. Kembalinya rasa aman di tengah masyarakat, efek jera dan kelumpuhan kemampuan operasional teroris.

Namun untuk meraih hasil yang permanen, dibutuhkan langkah kedua, isolasi jaringan teroris dengan menghilangkan kemungkinan tumbuhnya host atau jaringan iduk di tengah- tengah masyarakat yang berpotensi untuk menampung dan menghidupkan kembali sel-sel teroris yang telah mati suri.

Bila tahapan pertama kental dengan nuansa penegakan hukum, tahapan kedua identik dengan langkah-langkah politik. Langkah politik yang diambil sekurang-kurangnya harus menyentuh dua hal. Penanganan kegelisahan politik yang menjadi akar permasalahan tumbuhnya kelompok teror serta penumbuhan ideologi moderasi.

Identifikasi yang jujur, akan menyadarkan kita bahwa kelompok teror bukanlah sekedar sekelompok orang ‘gila’ yang putus harapan dan rela membunuh tanpa alasan yang jelas. Kemunculan kelompok terror umumnya lahir karena ada sumbatan atas aspirasi politik yang bermuara pada adanya ketidak adilan, penindasan dan alienasi politik, bahkan imperialisme internasional gaya baru.

Pemberantasan kelompok teror, sambil menutup mata atas kegelisahan politik yang memicu lahirnya kelompok teror sama saja dengan menyiangi rumput tanpa mencabut akarnya. Solusi politik pada tahap kedua ini harus pula dibarengi dengan penumbuhan ideologi moderasi anti-ekstrimitas dan kekerasan. Jika langkah sebelumnya menghilangkan seluruh katalis eksternal untuk tumbuhnya gerakan teror, maka langkah ini akan menumbuhkan daya tahan masyarakat secara mandiri terhadap penetrasi ideologi kekerasan.

Mazhab kontraterorisme yang kedua inilah yang lebih tepat untuk diadopsi. Tanpa langkah yang holistic, walau sudah banyak gembong teroris yang tewas atau ditangkap, kita harus siap siap kecewa. Karena memberantas aksi terror tidak selalu identik dengan membunuh teroris.

By budiyono arif samdani